Baca Juga
Hukum Pidana
PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN TINDAK PIDANA, UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA, SYARAT MELAWAN HUKUM, KESALAHAN, PERCOBAAN (POOGING), GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP) DAN PENYERTAAN
A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN TINDAK PIDANA
Hukum
pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :
-
Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut
-
Menentukan kapan dan
dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah diancamkan
-
Menentukan dengan
cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan tersebut.
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan
istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang
digunakan untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut
beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman. Menurut Muladi dan
Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan
konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah
itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak
hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah
sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena
pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan
pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau
sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut
dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu,
maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut
sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana,
perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.
B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Unsur formal
meliputi :
· Perbuatan manusia,
yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan
dan dilakukan oleh manusia.
· Melanggar peraturan
pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan
pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak
dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan
pidana, maka tidak ada tindak pidana.
· Diancam dengan
hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda
berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
· Dilakukan oleh orang
yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan
atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut
berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat
perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang
disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki
oleh undang-undang.
· Pertanggungjawaban
yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam
keadaan jiwanya.
Unsur
material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut
dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi
apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu
tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan
dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif
adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini
meliputi :
· Perbuatan atau
kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif
(berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351
KUHP).
· Akibat yang menjadi
syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang
dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan
(Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.
· Ada unsur melawan
hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan
perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun
unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Unsur
lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindak
pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif
yang menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan
(Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak
pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
·
Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam
delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat
tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan
seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman
pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
·
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan
sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan
Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123
KUHP).
Tindak pidana juga
mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :
·
Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam
pelanggaran kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333
KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
·
Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam
perampasan kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal 359
KUHP), dan lain-lain.
·
Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam
percobaan atau poging (Pasal 53 KUHP)
·
Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian
(Pasal 362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan
lain-lain
·
Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade),
dimana hal ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh
anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342
KUHP).
C. SYARAT MELAWAN HUKUM
Suatu
perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar
undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan
perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, pasal
51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu sendiri meliputi :
a.
Sifat formil yaitu
bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang.
b.
Sifat materiil yaitu
bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus diatur dalam sebuah undang-undang tetapi
juga dengan perasaan keadilan dalam masyarakat.
Perbuatan
melawan hukum dapat dibedakan menjadi :
·
Fungsi negatif yaitu mengakui kemungkinan adanya hal-hal diluar
undang-undang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang.
·
Fungsi positif yaitu mengakui bahwa suatu perbuatan itu tetap
merupakan tindak pidana meskipun tidak dinyatakan diancam pidana dalam
undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan yang ada di
luar undang-undang.
Sifat melawan hukum
untuk yang tercantum dalam undang-undang secara tegas haruslah dapat
dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk
suatu delik maka hal itu haruslah dibuktikan. Jika unsure melawan hukum
dianggap memiliki fungsi negative maka hal itu tidak perlu dibuktikan.
D. KESALAHAN
Berkaitan
dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit
reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan,
maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud
pertanggungjawaban tindak pidana.
Tindak
pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan
suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi
pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah
dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Dalam
kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut
dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam
kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan
tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk,
maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang
ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja
berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan
kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang
dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki
dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang
dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah
menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau
haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Disini
dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat
dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu
perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau
akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan
itu.
Jika
unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur
kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang
maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka
pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar
hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali
hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan
perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Disamping
unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau
kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut
sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan
kealpaan disadari atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini
faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari
perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa ini
terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat didefinisikan
sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu
menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun
pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang
dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu
sama sekali.
Dalam culpa atau
kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan
yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang
ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga
bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat
dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Maka
dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara
batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada
hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan
akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku
atas perbuatan pidananya itu.
E. PERCOBAAN (POOGING)
Pada umumnya
yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
1. Ada perbuatan
permulaan;
2. Perbuatan tersebut
tidak selesai atau tujuan tidak tercapai;
3. Tidak selesainya
perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri
Sifat
Percobaan, terdapat 2 pandangan:
1. Sebagai
Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang) sehingga,
percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang berdiri sendiri
(delictum sui generis), tetapi dipandang sebgai bentuk delik tidak sempurna
(onvolkomendelictsvorm). Dianut: Hazewinkel‐Suringa, Oemar Seno
Adji
2. Sebagai
Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan).
Sehingga, percobaan dipandang sebagai delik yang sempurna (delictum sui
generis)hanya dalam bentuk yang istimewa. Dianut: Pompe, Muljatno
Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan
tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Percobaan atau poooging diatur
dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai
rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan
mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan. Yang dapat
dipidana, hanyalah percobaan terhadap kejahatan dan tidak terhadap pelanggaran
(pasal 54)
Sanksi untuk percobaan
berbeda dengan delik yang sempurna. Yakni maksimum pidana yang dijatuhkan
terhadap kejahatan yang bersangkutan dikurangi 1/3.
Syarat‐syarat untuk dapat dipidananya percobaan adalah sebagai berikut:
·
Niat;
·
Adanya permulaan pelaksanaan;
·
Pelaksanaan tidak selesai bukan semata‐mata karena kehendaknya sendiri;
Menurut Moeljatno
berpendapat bahwa niat jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi niat secra
potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabbbbla sudah di tunaikan menjadi
perbuatan yang dituju. Pengertiannya :
·
Semua perbuatan yang diperlukan dalam kejahatan telah dilakukan
tetapi akibat yang dilarang tidak timbul
·
Kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih
ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada percobaan.
·
Oleh karena niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan
kesengajaan maka isinya niat jangan diambil dari sisi kejahatannya apabila
kejahatan timbul untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang
tertentu jadi bahwa sudah ada sejak niat belum ditunaikan.
·
Harus ada permulaan pelaksanaan pasal 53, hal ini tidak
dicantumkan: Permulaan pelaksanaan.
·
Menurut mut harus diartikan dengan permulaan pelaksanaan dengan
kejahatan.
Jenis-jenis
dalam percobaan terdiri atas :
1.
Percobaan selesai
atau percobaan lengkap (violtooid poging)
Adalah suatu
suatu percobaan apabla sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk menyelesikan
suatu tindak pidana tetapi tdak terwujud bukan atas kehendaknya. Contoh :
seorang A menembak B tetapi meleset.
2.
Percobaan tertunda
atau Percobaan terhenti atau tidak lengkap (tentarif poging)
Adalah suatu
percobaan apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk
selesainya tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang
dilakukan tidak selesai. Contoh : A membidikan pistolnya ke B dan dihalangi
oleh C
3.
Percobaan tidak
mampu (endulig poging)
Adalah suatu
percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk
menimbulkan tindak pidana selesai karena :
-
Alat yang dipakai
untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu
-
Obyek tindak pidana
adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.
Oleh karena itu
dikenal 4 bentuk percobaan tidak mampu :
-
Percobaan tidak
mampu yang mutlak karena alat yaitu suatu percobaan yang sama sekali
menimbulkan tindak pidana selesai karena alatnya sama sekali tidk dapat
dipakai.
-
Percobaan mutlak
karena obyek yaitu suatu percobaan yang tidak mungkin menimbulkan tindak pidana
selesi kaena obyeknya sama sekali tidak mungkin menjadi obyek tindak pidana.
-
Percobaan relatif
karena alat yaitu karena alatnya umumnya dapat dipai tetapi kenyataanya tidak
dapat dipakai.
-
Percobaan relatif
karena obyek yaitu apabila subyeknya pada umumnya dapat menjadi obyek tindak
pidana tetapi tidak dapat menjadi obyek tindaka pidana yang bersangkutan.
4.
Percobaan yang
dikualifikasikan
Yaitu untuk
melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai hasil sebagaimana
yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau
tersendiri.
F. PENYERTAAN
Pengaturan
mengenai penyertaan dalam melakukan tindak pidana terdapat dalam KUHP
yaitu Pasal 55 dan Pasal 56. Dari ketentuan dalam KUHP tersebut dapat
disimpulkan bahwa antara yang menyuruh maupun yang membantu suatu perbuatan
tindak pidana dikategorikan sebagai pembuat tindak pidana.
Menurut
Van Hamel dalam Lamintang mengemukakan ajaran mengenai penyertaan itu adalah[1]) :
“Sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran
mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal
dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat
dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannnya
telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerja sama yang terpadu
baik secara psikis (intelektual) maupun secara material”.
Berdasarkan
pasal-pasal dalam KUHP, penyertaan dibagi menjadi 2 (dua) pembagian besar,
yaitu:
1.
Pembuat atau Dader
Pembuat
atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu
berasal dari kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai
hal melakukan atau sebagai tindakan[2]).
Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku
itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah
membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah
bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pembuat
atau dader sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang
terdiri dari :
·
Pelaku (pleger).
Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan Pleger adalah
setiap orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik
seperti yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga
tanpa adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu,
orang-orang tersebut tetap dapat dihukum[3]).
·
Yang menyuruh lakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau
menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut
sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare
tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku
tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri
tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian ada
dua pihak, yaitu pembuat langsung atau manus ministra/auctor physicus),
dan pembuat tidak langsung atau manus domina/auctor
intellectualis[4]).
Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang dimaksudkan di dalam
Pasal 55 ayat (1) KUHP, maka orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi
beberapa syarat tertentu. Menurut Simons, syarat-syarat tersebut antara
lain :
1)
Apabila orang yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti
yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
2)
Apabila orang yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai
salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
3)
Apabila orang yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun
apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang
telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
4)
Apabila orang yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal
unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak
pidana.
5)
Apabila orang yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh
suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang
memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu
perlawanan.
6)
Apabila orang yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan
suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang
atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu.
7)
Apabila orang yang
disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau
suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undng-undang yaitu
sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
·
Yang turut serta (medepleger). Menurut MvT adalah
orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya
sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah
sama.
·
Penganjur (uitlokker) adalah orang yang
menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan
sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi
atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan,
ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.
2.
Pembantu atau medeplichtige
Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
Ø
Pembantuan pada saat
kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP.
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta (medeplegen),
namun perbedaannya terletak pada :
1)
Pada pembantuan perbuatannya
hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan
perbuatan pelaksanaan.
2)
Pada pembantuan,
pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan
tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang
yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan
mempunyai tujuan sendiri.
3)
Pembantuan dalam
pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut serta dalam
pelanggaran tetap dipidana.
4)
Maksimum pidana
pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga),
sedangkan turut serta dipidana sama.
·
Pembantuan sebelum
kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau
keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya
pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah
ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam
penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan
oleh si penganjur.
Berbeda dengan
pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu
dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari
ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP). Jika kejahatan
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara
maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian :
1.
Pembantu dipidana
sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :
·
Membantu
merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara memberi tempat untuk
perampasan kemerdekaan,
·
Membantu
menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
·
Meniadakan
surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2.
Pembantu dipidana
lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana :
·
Membantu
menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
·
Dokter
yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).
G. GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP)
Gabungan tindak pidana (samenloop
van starfbare feiten) terdiri atas tiga macam gabungan tindak pidana, yaitu :
1. Seorang dengan satu
perbuatan melakukan beberapa tindak pidana, yang dalam ilmu pengetahuan hukum
dinamakan “ gabungan berupa satu perbuatan” (eendaadsche samenloop),
diatur dalam pasal 163 KUHP.
2. Seorang melakukan
bebrapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak
pidana, tetapi dengan adanya hubungan antara satu sama lain,
dianggap sebagai satu perbuatan yang dilanjutkan (Voortgezette handeling),
diatur dalam pasal 64 KUHP.
3.
Seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungan
satu sama lain, dan yang masing-masing merupakan tindak pidana; hal tersebut
dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakn “gabungan beberapa perbuatan “(meerdaadsche
samenloop), diatur dalam pasal 65 dan 66 KUHP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar