Baca Juga
Makalah Lengkap : BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAMBAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN
KATA PENGANTAR MAKALAH BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN
Segala
puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat
memperluas ilmu tentang “Konsep
Ketuhanan Dalam Islam” yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini
di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan, baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca
khususnya para Mahasiswa Universitas Negeri Makassar. Saya sadar bahwa makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen
pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di
masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Makassar,
23 Februari 2019
DAFTAR ISI MAKALAH BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN
KATA PENGANTAR ……………………………………….
DAFTAR ISI ………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………..
B. Rumusan Masalah ………………………………………
C. Tujuan……………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep
Spritualisasi sebagai Landasan Kebertuhanan ………...............
B. Mengapa Manusia memenuhi Spritualisassi
……………………….
C. Menggali
sumber Psikologis, Sosiologis, Fisiologis, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan ………………………………………
D. Membangun
argumen tentang cara manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan ………………………………………………..……
E. Mendeskripsikan
Esensi dan Urgesi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia yang Damai ………………………………………………………...
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………
B. Saran …………………………………………...………...
DAFTAR PUSTAKA ................................................................
BAB 1PENDAHULUAN MAKALAH BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN
A.
LATAR BELAKANG
Jika kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia pada lema
,,spirit”, ,,spiritual” dan sejenisnya. Perhatikan kutipan berikut. Spiritual a
berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani,batin) spiritualisasi n
pembentukan jiwa; penjiwaan spiritualisme n 1 aliran filsafat yang mengutamakan
kerohanian : ia menumpahkan perhatian pada ilmu-ilmu gaib, seperti istik dan kepercayaan
untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal; spiritisme.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
itu Konsep Spritualisasi sebagai Landasan Kebertuhanan ?
2.
Mengapa Manusia memenuhi Spritualisasi ?
3.
Menggali sumber Psikologis, Sosiologis,
Fisiologis, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan
4.
Membangun argumen tentang cara manusia
Meyakini dan Mengimani Tuhan
5. Mendeskripsikan
Esensi dan Urgesi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia yang Damai
C.
TUJUAN
1. Mengetahui
Konsep Spritualisasi sebagai Landasan Kebertuhanan
2.
Mengetahui tujuan Manusia memenuhi
Spritualisasi
3.
Menggali sumber Psikologis, Sosiologis,
Fisiologis, dan Teologis tentang Konsep Ketuhanan
4.
Membangun argumen tentang cara manusia
Meyakini dan Mengimani Tuhan
5. Mendeskripsikan
Esensi dan Urgesi Visi Ilahi untuk Membangun Dunia yang Damai
BAB II
PEMBAHASAN MAKALAH BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN
A.
Konsep Spiritualitas sebagai Landasan
Kebertuhanan
Doe (dalam Montohar, 2010:
36) mengartikan bahwa spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri,
nilai-nilai, moral dan rasa memiliki. Spritualitas memberi arah dan arti pada
kehidupan. Spritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik yang
lebih besar daripada kekuatan diri kita, suatu kesadaran yang menghubungkan
kita langsung kepada Tuhan atau sesuatu unsur yang kita namakan sebagai sumber
keberadaan kita.
Spritual, spritualitas, spritualitasme mengacu kepada kosa
kata latin spirit atau spiritus yang berarti napas. Adapun kerja spirare
yang berarti untuk bernapas. Berangkat dari pengertian etimologis ini, maka
untuk hidup adalah untuk untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki
spirit (Aliah B. Purwakania, 2006: 288). Spirit dapat juga
diartikan kehidupan, nyawa, jiwa, dan napas (Hasan Shadily, 1984: 3278).
Dalam pengertian yang lebih luas spirit dapat
diartikan sebagai: 1) kekuatan kosmis yang memberi kekuatan kepada manusia
(yunani kuno); 2) makhluk immateril seperti peri, hantu dan sebagainya; 3)
sifat kesadaran, kemauan, dan kepandaian yang ada dalam alam menyeluruh; 4)
jiwa luhur dalam alam yang bersifat mengetahui semuanya, mempunyai akhlak
tinggi, menguasai keindahan, dan abadi; 5) dalam agama mendekati kesadaran
ketuhanan; 6) hal yang terkandung dalam minuman keras, dan menyebabkan mabuk
(Hasan Shadily, 1984: 3278).
Selanjutny dalam Ensiklopedi Indonesia spiritual adalah: 1)
bentuk nyanyian rakyat yang bersifat keagamaan, dikembangkan oleh budak-budak
Negro dan keturunan mereka di Amerika Serikat bagian selatan; 2) yang
berhubungan dengan rohani dan eksistensi kristiani yang berdasarkan kehadiran
dan kegiatan roh kudus (s. spiritus) dalam setiap orang beriman dan seluruh
gereja. Adapun spiritualitas adalah kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya
dalam cara berfikir, merasa, berdo’a dan berkarya (Hasan Shadily: 3279).
Memang spiritualitas memiliki ruang lingkup dan
pengertian yang luas. Aliah B. Purwakania Hasan (2006) mengungkapkan hasil
penelitian Martsolf dan Mickey tentang sejumlah kata kunci yang mengacu kepada
pengertian spiritualitas, yakni makna (meaning), nilai-nilai (values),
transendesi (transcendency), bersambungan (connecting), dan menjadi (becoming).
Memang
tampaknya pengertian spiritualitas merangkum sisi-sisi kehidupan rohaniah dalam
dimensi yang cukup luas. Secara garis besarnya spiritualitas merupakan
kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya dalam cara berfikir, merasa,
berdoa, dan berkarya (Hasan Shadily: 3728). Seperti yang dinyatakan William
Irwin Thomson, bahwa spiritual bukan agama. Namun demikian ia tidak dapat
dilepaskan dengan nolai-nilai keagamaan. Maksudnya ada titik singgung antara
spiritual dan agama
Inti spiritualitas :
Jika kita bisa menerima bahwa kita
adalah makhluk spiritual yang hidup dalam tubuh fisik, maka ;spiritualitas
adalah tentang persatuan, kebenaran, tanggung jawab pribadi, pengampunan,
kehendak bebas, cinta dan kedamaian. Yang paling penting, spiritualitas adalah
tentang menciptakan realitas kita sendiri, mengalami realitas-realitas menjadi
kebijaksanaan yang hidup dalam hukum alam semesta sehingga kita dapat
berkembang secara rohani dan kembali ke Penciptaan Allah SWT.
Spiritual diri kita adalah diri
sejati, bukan tubuh kita. Tubuh hanya sebagai kendaraan bagi jiwa kita. Pengalaman-pengalaman
negatif dan positif dapat membantu jiwa kita berkembang, kearah mana yang akan
di tempuh dalam perjalanan hidup ini.
Relasi spiritualitas dengan agama
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa spiritualitas memang bukan agama. Akan tetapi, ia memiliki
hubungan dari segi nilai-nilai keagamaaan yang tidak dapat dipisahkan. Titik
singgung antara spiritualitas dan agama tampaknya memang tak dapat dinafikan
sepenuhnnya. Keduanya menyatu dalam nilai-nilai moral. Adapun nilai-nilai moral
itu tergolong pada katagori nilai utama (summum bonum) dalam setiap
agama.
Dorongan untuk berpegang pada nilai-nilai
moral ini sudah ada dalam diri manusia. Menurut Murthada Muthahhari, dorongan
tersembunyi dalam diri manusia. Dalam konsep ajaran islam, nilai-nilai moral
itu disebut akhlak yang baik atau husn al-akhlaq (Muthada Muthahhari:
55).
Pemahaman ini menunjukkan, bahwa
sebenarnya spiritualitas adalah potensi batini manusia. Sebagai potensi yang
memberikan dorongan bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Dengan demikian,
tidak mengherankan bila, spiritualitas ini senantiasa diposisikan sebagai nilai
utama dalam setiap ajaran agama.
Spiritualitas mengacu kepada
kepedulian antar sesama. Sisi-sisi spiritualitas itu digambarkan: “ Berusaha
untuk menyelasaikan permasalahan orang lain bukan saja merupakan kewajiban
setiap orang itu adalah salah satu kesenangan yang paling baik dan luhur dalam
kehidupan. Jangkauan cinta seseorang harus sedemikian luas dan inklusif,
sehingga ada ruang di dalamnya bagi setiap orang. Cinta semacam itu dapat
membuat orang merasa, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah indah
dan cantik.
Gambaran ini paling tidak
menunjukkan kandungan nilai-nilai spiritualitas. Nilai-nilai agung ini harus
dibentuk dalam rangkain proses yang cukup panjang. Langkah awala adalah
bagaimana menghargai dan memuliakan orang lain di luar diri. Dalam konteks ini dijumpai
sejumlah pesan-pesan suci yang termuat dalam Al-qur’an, antara lain: “ Hai
orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena)
boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan)….(QS 49: 11). “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dengki dan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah
dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…..” (QS 49: 12).
Lebih dari itu manusia juga
didasarkan akan latar belakang historis kejadiannya. Didasarkan akan posisi,
fungsi, serta perannya sebagai makhluk sosial. Makhluk hidup bermasyarakat.
Bukan makhluk individu yang hanya menggambarkan egoismenya. Al-qur’an mengingatkan:
“ Hai manusia, kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal..”(QS 49:13).
Dalam pandangan islam, nilai-nilai
yang terkandung dalam spirituallitas tidak hanya terbatas dalam hubungan antar
manusia saja, melainkan mencakup kawasan yang lebih luas. Meliputi hubungan
antar makhluk. Dijelaskan oleh sang Maha Pencipta: “ Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kamu..” (QS 6: 36). Rasulullah saw.
bersabda: “ Kasih-sayangilah segala (apa) yang ada di bumi, maka yang di langit
akan mengasih-sayangimu..”
Pemikiran filsafat mengacu kepada
upaya untuk mengungkapkan nilai-nilai hakiki. Padahal nilai-nilai hakiki yang
mutlak itu termuat dalam ajaran agama. Spiritualitas itu sendiri berada pada
hati nurani agama. Oleh sebab itu, menurut Nurcholis Madjid: “ jika seorang
memahami hati nurani agama, dialog antar agama menjadi mudah,”. Dengan
nilai-nilai spiritualitas sejatinya kedamaian hidup bisa diwujudkan.
Spiritualitas hakekatnya adalah kepedulian lintas agama, lintas ras, lintas
bangsa, maupun lintas geografis. Jelasnya, spiritualitas merupakan kepedulian
paripurna yakni kepedulian lintas makhluk.
B.
Mengapa manusia memerlukan spiritual(tuhan)
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan
“Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang
dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat al-Furqan ayat
43.
Dalam surat al-Qashash ayat
38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
Dan
Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan
bagimu selain aku’.
Contoh
ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah
dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun),
ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan
nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan
atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
Tuhan
(ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Perkataan
dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang
dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan
atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan
bahaya atau kerugian.
Ibnu
Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja
dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya,
takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta
perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan
terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan
definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa
saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin
atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap
manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam
ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru
diikuti dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang
muslim harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada
dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
Sejarah
Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran
Barat
Yang dimaksud konsep
Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil
pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat
penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam
literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang
menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max
Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan
Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme
adalah sebagai berikut:
- Dinamisme
Menurut
paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada
manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.
Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana
(Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana
adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera.
Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun
mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
- Animisme
Di
samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya
peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta
mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi.
Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh
tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
-
Politeisme
Kepercayaan
dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain
kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
- Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama
terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan
seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan
kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa
hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih
mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu
bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).
- Monoteisme
Kepercayaan
dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya
mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk
monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu:
deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme
dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB.
Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang
berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap
Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme
adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).
2. Pemikiran
Umat Islam
Dikalangan umat Islam
terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang teguh dengan
Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlah
yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada doktrin
Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan
nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah
menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan.
Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh
penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya
faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam
setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar
Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya
digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.
Embrio ketegangan
politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan
segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang
Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali),
dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap
khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.
Ketika khalifah dipegang
oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi terbuka. Sistem
nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman
menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya
terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan
semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.
Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas
dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan
Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk
menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian
damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan
strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah
mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara
pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi)
tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan
pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu :
kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar,
namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan
kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian
umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah
(Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.
Untuk memenangkan
kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan menggunakan
konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya. Menurut
Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah
maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena
menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap
tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan
ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan
Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ
Siapa yang tidak
menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran), maka
mereka dalah orang-orang kafir.
Munculnya doktrin saling
mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain membuat pertanyaan besar
bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul
pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry.
Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang
orang yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka
itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku
politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah,
mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu
mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak
ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya
mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk
ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan
mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.
Sebelum guru besarnya
memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang dosa besar
tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan
jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan
diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut
memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa
besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik.
Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata
Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama
beberapa orang yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok
pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan
Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari
kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok
MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).
Kelompok Muktazilah
mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang diajukan golongan
Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu
Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah
terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:
- meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan
zat-Nya
- Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
- Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
- Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
- Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.
Dari lima azas tersebut
– menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban. Tuhan wajib
memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan
wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang
kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional
dengan sebutan Qadariah.
Sebaliknya, aliran
teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat
20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak.
Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja
menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia
menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham
Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.
3. Konsep Ketuhanan dalam Islam
Istilah Tuhan dalam
sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi penggerak
atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang
mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran
konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif
(hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
Diantara
manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.
Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat
Arab telah menganut konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal
ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a
maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi
Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan
kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba
Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya
Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah
dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah
konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena
Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari
kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan
konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.
Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta
semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai
berikut;
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَوَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang
menciptakan lagit dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti
akan menjawab Allah.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai
adanya Allah, belum tentu berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi
segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha
Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan
sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur
alam semestaPernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat
syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan
pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus
terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah
sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah
hasanah.
Maslow dsebagaimana dikutip oleh jalaluddin rkhmat
menyatajkan bhwa ketenangan dankedamainan merupakan kebutuhan masyarakat yang
paling penting. Akan tetapi, di syinyalir bahwa pada zaman ini cenderung tidak
mengetahui lagicara mengenali diri sendiri dan menjalin kehidupan didunia
secara benar dn bermakna. Menurut carly gustav jung, manusi modern mengalami
ketersaningan diri dari diri sendiri dan lingkungan sisial bahkan jauh dari
tuhan.
Moderenisasi
dan globalisasi memiliki lima cirri :
1.
Munculnya budaya global
2.
Penekanan yang berlebihan terhadap
kebbasanmanusiadalam bersikap
3.
Menguatnya rasionalisme
4.
Orientasi materialistis
5.
Dominasi sikuat atas silemah
Dengan
cirri moderenisasi dan globalisai diatas membuat ruang spiritual dalam diri
kita mengalami krisis yang luar biasa hebat.
C.
Menggali sumber psikologis,sosiologis,
filosofis, teologis tentang ketuhanan
1.
Prespektip psikologis
Dalam membahas masalah ini, setidaknya
ada beberapa aspek yang akan dijelaskan. Psikologi Agama Islam sebagai salah
satu disiplin ilmu, maka ada beberapa masalah yang akan menjadi topik kajian
diantaranya seperti yang di jelaskan oleh ramayulis :
1. Bagaimana pengalaman
manusia itu dalam hubungannya dengan keyakinannya kepada Tuhannya.
2. Bagaimana sifat jiwanya
terhadap Tuhannya
3. Bagaimana pengalaman
tentang dirinya dalam menyerahkan diri kepada TuhannYA.
Melihat dari masalah diatas, maka
ke-Tuhanan manusia dalam perspektif Psikologi Agama Islam merupakan konsep
keyakinan, sikap jiwa dan penyerahan diri kepada Allah Swt. Pada bahasan
selanjutnya, penulis akan coba menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan tersebut.
1. Iman
Iman
memiliki pengertian keyakinan yang kuat zat yang maha berkuasa. Keimanan akan
menghantarkan sesorang kepada ketaatan dalam menjalankan perintah agama,
seperti shalat, puasa, zakat, haji dan perintah-perintah sunnah lainnya.[24]
Jika demikian, maka iman akan melahirkan tingkah laku ketaatan pada diri
seseorang yang dilakukan hanya dengan keikhlasan semata. Orang yang
melaksanakan shalat hanya mengharapkan imbalan (fahala) yang datang dari Allah,
dan imbalan itu mereka yakini pasti ada.
- Akhlak Mulia
Ibnu
Katsir dalam Fariq Gasim Anuz, menjelaskan bahwa akhlak memiliki arti dien,
tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan
kepribadiannya.[25]
Bagi seorang hamba yang memiliki iman yang baik, maka akan memancarkan tingkah
laku atau tabia’at yang baik pula. Yaitu perangai atau tingkah laku yang
memberikan manfaat bagi diri dan lingkungannya. akhlak mulia itu bisa lahir
dalam bentuk, diantaranya :
a.
Tawadhu’
Tawadhu’
memeliki pengertian sifat rendah hati. Yaitu sifat yang tidak mau membanggakan
diri atas kelebihan dan keistimewaan yang diberikan Allah kepadanya. Seorang
yang tawadhu’ menyadari bahwa apapun yan ia miliki; ilmu, kekayaan, jabatan,
pangkat dan lain-lain, merupakan anugerah dan amanah dari Allah. Itu
semua justru dijadikan sebagai media dalam rangka menyadari betapa maha besarnya
dan maha kuasanya Allah.
b.
Wara’
Yaitu
sikap yang selalu waspada terhadap hal-hal yang dapat merendahkan martabat
sebagai hamba Allah. Seorang yang memiliki sifat wara’ selalu berusaha
menghindarkan diri dari hal yang bersifat subhat, sebab itu akan menjadikan
hijab bagi dirinya terhadap kebesaran Allah yang Maha Mulia.
c.
Ikhlas
Ikhlas
merupaka perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan oleh seorang hamba hanya
diperuntukkan bagai Allah semata.Apapun katifitas kehidupannya dalam rangka
mengarungi lautan kehidupan, dimaknai sebagai ibadah kepada Allah Swt.
d.
Sabar
Merupakan
sikap yang tangguh dalam menghadapi problematika kehidupan. Orang yang sabar
tidak mudah putus asa serta yakin akan rahmat Allah dalam setiap peritiwa
kehidupan yang dialami, apapun itu bentuknya Firman Allah QS 94 : 5-6
Artinya : Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.(
QS : al-Insyirah : 5-6)
e.
Syukur
Yaitu
penggunaan seluruh nikmat Allah oleh seorang hamba –baik dalam bentuk
pendengaran, penglihatan, hati, maupun yang lainnya- sesuai dengan tujuan
penciptaanya Semua anugerah yang diberikan Allah kepada
manusia, terutama nikmat panca indera diberikan oleh Allah memiliki tujuan.
Pendengaran Allah berikan bertuajuan agar manusia dapat mendengarkan
pengajaran, perkatan yang baik. Begitu juga dengan nuikmat yang lain.
3. Tawakkal.
Tawakkal
adalah bersandar kepada Allah dalam segala hal. Allahlah sebagai penyebab
segala sesuatu. Artinya, manusia sebagai seoarang hamba menayadari betapa
didalamnya dirinya tidak ada kekuatan. Sungguh pemilik kekuatan dan daya hanya
Allah. Takwa merupakan sikap hidup yang mampu menghantarkan seseorang kepada
ketenangan hidup.
Penyerahan diri kepada Allah disini merupakan
penyerahan yang tidak menafikkan sunnatullah yang telah menjadi ketetapan
Allah. Artinya dalam bertqwaqal juga harus diringi dengan berikhtiar, karena
segala sesuatu sudah Allah ciptakan dengan struktur sebab akibat, walaupun hal
itu semua tidak akan mutlak, jika Allah berkehendak.
2. Prespektip
sisiologis
Sosiologi
mempelajari masyarakat umum secara sosiologis, namun dalam ilmu sosiologi
terdapat cabang ilmu yang mempelajari secara khusus masyarakat beragama, yang
di kenal sebagai ilmu Sosiologi Agama. Objek dari penelitian sosiologi agama
adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-kelompok keagamaan. Seperti
misalnya, kelompok Kristen, Islam, Budha dll. Sosiologi agama memang tidak
mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-agama itu, tetapi
hanya mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dari masyarakat yang beragama
tersebut. Namun demikian, ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dapat dipandang
sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi fenomena-fenomena yang muncul
tersebut.
Atas
dasar itu kita juga dapat berbicara tentang wahyu sebagai variabel dari
masyarakat yang beragama, meskipun bukan itu yang menjadi titik tolaknya. Lain
halnya dengan perspektif teologi, jika dipandang dari sosiologi, agama tidak
dilihat berdasarkan wahyu yang datang dari atas, tetapi dilihat atas dasar
pengalaman konkrit pada masa kini maupun pada masa lampau. Jadi apa itu agama
didasarkan pada pengalaman manusia.
Manusia
dalam hidupnya senantiasa bergumul dengan ketidakpastian akan hari esok, keberuntungan,
kesehatan dsb. Manusia juga bergumul dengan ketidakmampuannya yaitu untuk
mencapai apa yang diharapkan, baik yang bersifat sehari-hari maupun yang ideal.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan manusia. ketidakmampuan ini terus dialami
baik oleh manusia primitif maupun modern. Misalnya, mengapa manusia harus mati,
bagaimana menghindari kematian, bagaimana menghindari bencana alam dsb. Dalam
ketidakmampuan ini manusia mencari pertolongan, juga kepada kekuatan-kekuatan
yang ada di luar dunia, yang tidak kelihatan/supranatural.
Dalam
pencarian tersebut manusia terus mengalami tahap perkembangan, yaitu mulai dari
tahap anismisme, politeisme dan kemudian monoteisme. Pada
tahap animisme manusia percaya bahwa semua benda memiliki jiwa atau
roh yang dapat memberi pertolongan kepadanya. Sedangkan pada tahap politeisme
yang dikenal sebagai tahap yang lebih tinggi dari tahap animisme, di
mana manusia telah mengenal konsep-konsep tentang tuhan/dewa yang berada di
luar sana. Namun tuhan/dewa tersebut banyak jumlahnya. Dan mereka mulai
menyembah tuhan-tuhan mereka sesuai dengan apa yang mereka yakini mampu memberi
pertolongan kepada mereka. Tahap terakhir adalah monoteisme sebagai
tahap yang tertinggi. Pada tahap ini manusia memiliki konsep tentang tuhan/dewa
yang esa, yang tidak terbagi-bagi dan merupakan sumber segala sesuatu yang
mampu menolong dan menjawab segala keterbatasan-keterbatasannya.
Dalam
mencapai hal tersebut di atas (kebahagiaan) manusia melakukan usaha
non-religius selama manusia masih mampu meraih kebahagiaan. Namun, jika usaha
ini gagal, maka manusia melakukan metode lain (animisme-politeisme-monoteisme),
yaitu dengan kekuatan yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra, namun yang
diyakini ada dan dapat membantunya. Bahkan keyakinan itu diwujudkan bukan saja
pada saat dia mengalami ketidakmampuan tadi, tetapi juga terus berperan dalam
seluruh hidupnya. Yaitu melalui tahap-tahap tadi. Dan inilah yang disebut agama
dalam arti luas.
Jadi
dalam perspektif sosiologi, sebenarnya agama adalah ciptaan manusia. Lebih jauh
lagi sebetulnya manusia menciptakan Tuhan bagi kepentingannya sendiri, yaitu
untuk mengatasi ketidakpastiannya, ketidakmampuannya dan keterbatasannya
3. prespektip filosofis
Pemaparan pertama
mengenai konsep Tuhan dari filsafat teisme disampaikan oleh Samuel Vincenzo.
Secara sederhana, maka yang disebut dengan teisme adalah kepercayaan terhadap
Tuhan. Dalam filsafat, diskusi akan Tuhan pada dasarnya sudah berkembang sejak
lama. Bahkan, permasalahan ketuhanan secara filosofis sudah muncul sejak filsafat
itu sendiri ada. Socrates pun dalam pemikirannya sudah mulai mempertanyakan
mengenai kesalehan. Sehingga, teisme sendiri, bukanlah suatu hal yang aneh.
Sedangkan ateisme diyakini muncul sebagai respons dari gereja.Sehingga, teisme
sendiri, bukanlah suatu hal yang aneh
Terkadang,
apabila kita membicarakan tentang kesalehan, maka yang terpikir oleh kita
adalah, pergi ke gereja setiap minggu, ibadah setiap hari, dan lainnya. Akan
tetapi, pada dasarnya, hal-hal tersebut tidak dapat menjelaskan kesalehan itu
sendiri. Pada akhirnya muncul pula pertanyaan-pertanyaan mengenai what is
good? Dalam
hal ini, teisme
yang dibahas adalah teisme yang condong ke kepercayaan terhadap
Tuhan secara
personal. Teisme memercayai bahwa Tuhan dapat diketahui. Mereka tidak melihat
Tuhan sebagai suatu hal yang diciptakan. Sehingga, Tuhan bukanlah suatu konsep
yang dibuat-buat. Hal yang cukup menarik diangkat oleh Samuel adalah, banyak
cendekiawan yang memilih untuk menjadi seorang teis.
Pada akhirnya,
Samuel menyatakan bahwa diskusi soal Tuhan itu masih perlu karena mereka
percaya bahwa diskusi tentang teisme membawa ontologi, identitas, makna hidup,
moralitas, dan juga takdir. Tentunya, kelima hal tersebut memengaruhi
kehidupan kita.
Berbeda dari
Samuel, Kala Sanggurdi mencoba untuk menjelaskan bagaimana konsep Tuhan dari
filsafat ateisme. Sebelumnya, Kala dalam perkenalannya, menyatakan bahwa ia
adalah seorang pasca-teisme. Menurut Kala, membicarakan Tuhan bukan sekadar
tentang percaya atau tidak. Dalam mengonsepkan sesuatu yang sebesar Tuhan, maka
akan muncul banyak perdebatan.
Pada dasarnya,
dalam teis, ada bayak sekali tanggapan mengenai Tuhan. Bahkan, varian-variannya
pun beragam. Politeisme mempercayai bahwa Tuhan itu banyak. Lalu, ada
monoteisme yang percaya bahwa Tuhan hanya ada satu. Panteisme menganggap bahwa
semuanya adalah Tuhan, Tuhan adalah semua. Panenteisme percaya bahwa
semua yang ada di dunia ini adalah bagian dari Tuhan. Bisa jadi kaki, badan,
bahkan jari kita merupakan bagian neuron dari Tuhan. Pada akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa banyak sekali konsep Tuhan yang diterapkan.
Beralih pada ateisme. Ateisme sendiri lingkupnya
lebih kecil dari teisme dan non-teisme. Secara umum, ateisme berarti
ketidakpercayaan akan Tuhan. Dalam ateisme, terdapat apateisme dan antiteisme.
Apateisme berarti ketidakpedulian terhadap Tuhan itu sendiri. Mau Tuhan itu ada
ataupun tidak, mereka tidak akan peduli. Kemudian, berdasarkan antiteisme,
Tuhan itu harus tidak ada dan tidak boleh ada.
Berlanjut pada non teisme. Dalam
non teisme, terdapat agnostisisme, pasca-teisme, dan trans-teisme. Agnostisisme
merupakan sebuah konsep yang menganggap bahwa pertanyaan tentang Tuhan
merupakan hal yang tidak dapat diketahui. Entah tidak dapat dijawab atau emang
tidak dapat diketahui. Pada dasarnya, manusia adalah agnostik karena sejak
masih kecil mereka tidak tahu apa-apa tentang Tuhan.
Sedangkan, pasca-teisme berarti
sebuah konsep yang menyatakan bahwa diskusi ketuhanan itu sudah usang. Sudah
bukan lagi zamannya. Masih ada diskusi-diskusi lain yang lebih besar dan
penting untuk dibahas. Terakhir, ada transteisme yang memercayai bahwa Tuhan
hanyalah satu dari sekian banyak hal yang dapat dibahas. Ada sesuatu yang lebih
besar yang dapat dibahas.
Pada akhirnya, orang-orang ateis
mulai mempertanyakan apakah itu Tuhan? Apakah Tuhan itu seperti yang dikatakan
oleh teis? Apakah Tuhan dapat dipersepsikan dengan hal lain? Apakah Tuhan itu
bisa sangat sederhana?
Kala Sanggurdi menyatakan bahwa
apabila seseorang mengaku dirinya sebagai ateis, maka ia harus tahu terlebih
dahulu ateis seperti apakah dirinya itu. Karena, bagaimanapun konsep dari
ateisme itu sendiri sangatlah luas. Sehingga, tidak dapat disederhanakan. Pada
akhirnya, muncul suatu simpulan bahwa ateis adalah orang-orang yang menunggu
satu titik saat Tuhan dapat diobservasi.ateis adalah orang-orang yang menunggu
satu titik saat Tuhan dapat diobservasi.
Dalam menjelaskan pandangannya,
Samuel menyatakan bahwa klaim ateis mengenai ketidakberadaan Tuhan bermasalah
secara epistemologis. Membuktikan sesuatu yang tidak ada akan jauh lebih sulit
daripada membuktikan suatu hal yang ada. Sehingga, untuk membuktikan sesuatu
itu tidak ada, seseorang dituntut untuk menunjukkan semuanya terlebih dahulu.
Dari Kala sendiri, ia menyatakan bahwa kebenaran
itu harusnya bersifat objektif. Sehingga, kebenaran mutlak itu tidak ada.
Kebenaran itu ada ketika manusia itu ada. Sehingga, apabila manusia tidak ada,
maka belum tentu kebenaran itu ada.Apabila ditanya apakah seorang Kala masih
memercayai Tuhan atau tidak, maka yang kemudian ditanyakan kembali, Tuhan yang
mana yang dimaksud?
Menjadi seorang ateis merupakan
langkah yang besar. Terkadang, banyak yang mempertanyakan datang dari mana
moral? Datang dari mana kebaikan? Pada akhirnya pun, Kala mempertanyakan
kembali, memangnya mengapa kalau kita hidup tanpa moral? Tanpa tujuan? Apa
salahnya seseorang hidup seperti biasa? Apa salahnya menjadi manusia biasa?
Pada dasarnya, perdebatan ateis
dan teis terus terjadi karena memang adanya perbedaan pendekatan dalam memahami
konsep ketuhanan yang digunakan oleh kaum teis dan kaum ateis. Pendekatan yang
digunakan oleh kaum ateis yaitu pendekatan materialis yang menuntut bahwa Tuhan
harus dapat diobservasi dengan menggunakan mata fisik. Sedangkan kaum teis
meyakini bahwa Tuhan itu tentu berbeda dengan makhluknya, ada hal mengenai
Tuhan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, karena memang akal manusia
tidak mampu mencapai hal itu. Konsep “ada” yang diyakini kaum teis pun
sederhana, menurut mereka sesuatu tetap dianggap ada walaupun itu hanya berada
dalam pikiran seseorang, apabila kita bisa memikirkan sesuatu hal tersebut maka
hal tersebut pun tentu ada.
Pendekatan ilmiah dan materialis
oleh kaum ateis pun ternyata baru muncul ketika masa modern, sebelum itu para
kaum ateis tidak selalu menggunakan pendekatan tersebut. Karl Marx merasa
prihatin dengan kondisi masyarakat saat itu dan merasa bahwa ketika seseorang
hendak berpindah dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya yang mereka
lakukan bukanlah berusaha melainkan justru berdoa dan hanya pasrah kepada
Tuhan. Oleh karena itu Karl Marx menyatakan bahwa “agama adalah sebuah candu”
karena tingginya rasa ketergantungan seseorang kepada Tuhannya.
Karl Marx menyatakan bahwa “agama adalah sebuah
candu” karena tingginya rasa ketergantungan seseorang kepada Tuhannya.
Pada dasarnya, pembicaraan akan
Tuhan akan terus diperdebatkan. Apakah Ia benar-benar ada atau tidak.
Pemikiran-pemikiran ini lah yang pada akhirnya memengaruhi kehidupan manusia.
Bagaimanapun, keputusan seseorang dalam memersepsikan Tuhan, kembali lagi pada
masing-masing individu. Tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan kehendak
mereka terhadap keputusan yang diambil. Pada akhirnya pun, penjelasan mengenai
konsep Tuhan akan berbeda-beda. Hal ini bergantung dari pendekatan yang
digunakan. Apakah melalui pendekatan teis, atau non teis.
d. prespektif teologis
Dalam perspektif teologi agama
dipandang sebagai sesuatu yang dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui
wahyu-Nya). Manusia beragama karena Tuhan yang menanamkan kesadaran ini. Tuhan
memperkenalkan diri-Nya kepada manusia melalui berbagai penyataan, baik yang
dikenal sebagai penyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan
alam, penciptaan semua makhluk dsb. maupun penyataan khusus, seperti yang kita
kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-nabi,
bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma Kristen.
Penyataan-penyataan Tuhan ini
menjadi dasar untuk kehidupan beriman dan beragama umat manusia. Melalui wahyu
yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia tahu cara
beribadah; memuji dan mengagungkan Tuhan. Misalnya, bangsa Israel sebagai
bangsa beragama dan menyembah hanya satu Tuhan (monoteisme) adalah
suatu bangsa yang mengimani bahwa Tuhan menyatakan diri terlebih dulu dalam
kehidupan mereka. Dalam Perjanjian Lama Tuhan memanggil nabi Nuh kemudian
Abraham dan keturunan-keturunannya. Sehingga mereka dapat membentuk suatu
bangsa yang beriman dan beribadah kepada-Nya. Tuhan juga memberi petunjuk
mengenai bagaimana harus menyembah dan beribadah kepada Tuhan. Kita dapat
melihat dalam kitab Imamat misalnya. Semua hal ini dapat terjadi karena Tuhan
yang memulainya. Dan tanpa inisiatif dari atas (dari Tuhan) manusia tidak dapat
beriman, beribadah dan beragama.
Contoh lain, terjadi juga dalam
agama Islam. Tuhan menurunkan wahyu kepada nabi Muhammad. Melalui wahyu yang
diterimanya, Muhammad mengajarkan dan menekankan monoteisme di tengah politeisme
yang terjadi di Arab. Umat dituntun menyembah hanya kepada Dia, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Melalui wahyu yang diterimanya, Muhammad memiliki keyakinan
untuk menobatkan orang-orang Arab yang menyembah banyak tuhan/dewa. Dan melalui
wahyu yang diturunkan Tuhan juga, Muhammad mampu membentuk suatu umat yang
beragama, beribadah dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa
Dapat disimpulkan bahwa agama
dalam perspektif teologi tidak terjadi atas prakarsa manusia, tetapi atas dasar
wahyu dari atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia
tidak mampu menjadi makhluk religius yang beriman dan beribadah kepada Tuhan.
Jadi berbicara soal agama dalam perspektif teologi harus dimulai dengan wahyu
Allah atau penyataan yang Allah berikan kepada manusia.
D.
Cara manusia meyakini dan mengimani manusia
Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung
dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan
yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada
diri seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar,
maka ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman
kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat,
serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang
secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah
seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku
beragama Islam.
Ditinjau
dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT :
a.
Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah,
bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an
sebagai suber ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam
mengenal Allah SWT. Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha
Suci. Dia Maha Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.
b.
Bersifat Tafshili
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah
mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa
Allah SWT memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya.
Sebagai bukti adalah adanya “Asmaul Husna” yang kita dianjurkan untuk berdoa
dengan Asmaul Husna serta menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan
menghayati makna yang terkandung di dalamnya.
1.
Keyakinan dirinya kepada Tuhan
2.
Ucapan yang mengikuti keyakinannya
3.
Melakukan berbagai kegiatan hidup
E. Esensi dan urgensi visi ilahi
untukmembangun dunia yang damai
Manusia tidak akan mampumembangun
relasi yang harmoni dengan tuhan apabila hidupnya lebih didominasi oleh
kepentingan ragawi dan bendawi. Oleh karena itu, sisi spritualis harus
memainkan peran utama dalam kehidupan manusia sehingga mampu merasakan
kehadiran tuhan dalam setiap gerak dan sikapnya. Apabila kita mampu mengasah
sprtualitasnya sehingga ia dapat merasakan kehadiran tuhan maka ia akan dapat
melihat segala sesuatu dengan visituhan ( ilahi). Visi ilahi inilah yang sangat
dibutuhkan oleh ummat manusia sehingga setiaptindak tanduk dan sikap perilaku
manusia didasari dengsn demngat kecintaan kepada tuhan sebagai manifestasi
kebenaran universal dan pengabdian serta pelayanan kepada sesame ciptaan tuhan
dengan begitu akan terciptanya dunia yang damai.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam pengertian yang lebih luas spirit
dapat diartikan sebagai: 1) kekuatan kosmis yang memberi kekuatan kepada
manusia (yunani kuno); 2) makhluk immateril seperti peri, hantu dan sebagainya;
3) sifat kesadaran, kemauan, dan kepandaian yang ada dalam alam menyeluruh; 4)
jiwa luhur dalam alam yang bersifat mengetahui semuanya, mempunyai akhlak
tinggi, menguasai keindahan, dan abadi; 5) dalam agama mendekati kesadaran
ketuhanan; 6) hal yang terkandung dalam minuman keras, dan menyebabkan mabuk
(Hasan Shadily, 1984: 3278).
Sebelum turun Al-Quran
dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid (monoteisme). Allah
sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka
cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun
sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat
Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di
kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya
Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari
kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan
Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan
konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep
ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini
tentu tidak demikian kejadiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Syahidin,dkk.
2019. Pendidikan Agama Islam untuk
Perguruan Tinggi. Makassar:
Universitas Negeri Makassar.
Imam khanafi Al-jauharie, filsafat Islam,(Yogyakarta:
Gama media, 2009)\
file://D:MAKALAH%20KONSEP%20KETUHAN%20DALAM%ISLAM%TUGASKULIAH4u.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar